November 06, 2017

"Semangat Kakak!"

Jujur saja, di antara kita pasti ada yang sering menggunakan ungkapan di atas saat ingin menyapa dan membangkitkan semangat rekan kita dalam menjalankan tugasnya.

Saat kita ingin memberikan dukungan kepada rekan kita yang sedang berusaha untuk menyelesaikan suatu tugas, atau sekadar menyapa pacar di saat sedang bekerja, sering kita menggunakan ungkapan di atas.

Namun, saat iseng-iseng mencari makna dari ungkapan tersebut di KBBI, saya dibuat heran. Kata “semangat” merupakan kata benda (nomina), yang berarti: 1) roh kehidupan yang menjiwai segala makhluk, baik hidup maupun mati, 2) seluruh kehidupan batin manusia, 3) isi dan maksud yang tersirat dalam suatu kalimat, 4) kekuatan (kegembiraan, gairah) batin, 5) perasaan hati: terpengaruh oleh, 6) nafsu (kemauan, gairah) untuk bekerja, berjuang dan sebagainya.

Nah, dari keenam arti di atas, ungkapan “semangat ya!” masuk ke makna yang mana?

Kita sebenarnya mengandaikan saat diberi semangat dengan sapaan kata “semangat ya!”. Artinya, kita paham bahwa orang yang menyapa itu sedang mencoba untuk mengajak kita tetap bersemangat dalam kegiatan yang sedang kita upayakan. Kita diminta untuk tetap bersemangat.

Bila kita coba untuk melihat dari sinonim kata “semangat”, akan muncul kata seperti: (hawa) nafsu, antusiasme, api, arti, atmosfer, batin, dorongan, energi, gairah, gelora, intensi, intensitas, jiwa, karakter, kehidupan, keinginan, maksud, motivasi, nada, psike, roh, sifat, spirit, suasana (hati), substansi, sukma, temperamen, vitalitas, watak, dan lain-lain.

Kembali, pertanyaan yang sama: bila ungkapan “semangat ya!” dilihat dari sinomin kata “semangat”, manakah makna yang paling dekat yang bisa digunakan untuk menggantinya? Bisakah digunakan ungkapan, misalnya: “gairah ya!”, “nafsu ya!”, “spirit ya!”, “ayo gairah”, “ayo api!”.

Dengan melihat dua percobaan di atas (makna di KBBI dan sinonim kata), saya semakin yakin bahwa penggunaan sapaan “semangat ya” merupakan suatu ungkapan yang menarik untuk dibahas.

Pertama, bisa dipahami bahwa sapaan “semangat ya!” merupakan suatu upaya memberikan semangat kepada pihak yang disapa. Bila dipanjangkan, ungkapan tersebut mungkin sekali berarti: Aku berharap bahwa kamu tetap bersemangat dalam menjalankan aktivitasmu. Atau, Aku harap kamu tetap menjalankan aktivitas dengan penuh semangat. Demikian kira-kira maksud dari sapaan, “Semangat ya!”. Dan kita semua maklum adanya, entah pemberi semangat maupun yang diberi semangat. 

Akan tetapi, kok mudah sekali menggunakan kata “semangat” untuk menyemangati? Bila memang demikian, bisakah digunakan kata benda (nomina) yang senada untuk mengungkapkan sapaan di lain situasi? Misalkan, terhadap orang yang sedang bersedih, kita gunakan “kegembiran ya!”. Atau untuk kegiatan lain yang senada, misalkan untuk memotivasi seseorang, kita gunakan kata “motivasi ya !” , “ayo motivasi!”

Kedua, bisa juga, dan inilah dugaan saya, inilah suatu pembentukan ujaran performatif baru khas generasi milenial di Indonesia. Suatu “ujaran” yang dalam waktu bersamaan juga merupakan suatu “pekerjaan” yang mengungkapkan suatu tindakan tertentu. Misalkan, kita minta maaf pada seseorang, kita menggunakan kata “Maaf ya!”. Suatu “tindakan” meminta maaf, dilakukan dengan mengucapkan kata “maaf”. Contoh lain adalah sapaan “Selamat Pagi!”. Kita melakukan “tindakan” menyapa dengan mengucapkan kata “Selamat Pagi!”.

Prinsip sederhananya, ujaran performatif itu dapat dilihat saat suatu kata sekaligus merupakan suatu tindakan (when words are actions). Saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Bisa dilihat saat kita: memesan, berjanji, meminta maaf, mengingatkan, menikahi, dan lain-lain. Demikian logika sederhana tentang apa itu ujaran performatif. [Yang ingin memperdalaman, bisa mulai dengan tayangan ini: https://www.youtube.com/watch?v=jEvwd0vxF6w atau https://www.youtube.com/watch?v=LgmpbXIGpcc;]

Nah, kembali ke ucapakan “semangat ya!”, bisa jadi merupakan suatu ujaran performatif, suatu bentuk ungkapan yang dipahami sebagai suatu tindakan performatif. Bisa jadi, inilah genialitas sapaan khas milenial Indonesia yang dipahami bersama sebagai bentuk memberikan semangat. Saya katakan khas milenial Indonesia karena di era 90’an, ungkapan “semangat ya” belum terdengar, jarang terdengar, atau belum diungkapkan.

Pada zaman dahulu, bila orangtua, misalnya, ingin memberikan semangat kepada anak-anaknya dalam belajar, dia bisa jadi akan mengatakan: “Nak, rajinlah belajar agar bisa masuk sekolah yang kamu cita-citakan. Di sini, pemberian semangat dilakukan secara khusus, sesuai dengan kegiatan yang sedang dilakukan.

Atau seorang pelatih bulutangkis saat menunggui anak didiknya bertanding akan mengatakan “Ayo,kamu bisa!”, “kerahkan seluruh upayamu!”.

Dari mana datangnya ujaran dan pemahaman “semangat ya!”. Dugaan saya, kekuatan kata-kata ini muncul dari komunikasi via teks. Berkurangnya komunikasi tatap muka langsung, walau sudah disiasati dengan adanya emoticon maupun video call, membentuk mode komunikasi yang singkat. Siasat untuk menyemangati orang, tak lagi harus dengan banyak nasihat dan spesifik, tetapi sederhana, umum, dan mudah dipahami bersama.

Saya cenderung untuk tidak menyebutnya sebagai suatu salah kaprah dalam pemakaian bahasa, tetapi lebih pada suatu penemuan genial generasi milenial (yang pas untuk kids zaman now).  

Selain siasat karena keterbatasan teks, ungkapan “semangat ya!” sangat mungkin muncul dari alih bahasa ungkapan bahasa Jepang “ganbatte” maupun dari bahasa China “Jia You” (Caiyo). Masuknya budaya Jepang melalui komik, film kartun, sinetron jepang (dorama), maupun lagu-lagu, membawa serta dialog-dialog khas yang ditangkap oleh generasi milinial. Ungkapan “ganbatte” yang merupakan kependekan dari “gambatte kudasi” dengan arti “berusalah yang terbaik/lakukan sebaik mungkin”, digunakan ke dalam percakapan sehari-hari dengan ungkapan “semangat!”. 

Dari alih bahasa yang diakrabi oleh generasi milinial ini, muncul siasat berbahasa yang baru, menyemangati dengan menggunakan kata “semangat”. Ungkapan ini akhirnya diterima dan digunakan oleh pengguna bahasa Indonesia. Hasilnya, hampir semua orang sepakat dan memahami maksud saat seseorang mengungkapkan “Ayo semangat!” kepada orang lain, berarti dia sedang mengatakan “ayo bersemangatlah dalam menjalankan kegiatanmu!”.

Semangat kakak!

May 07, 2015

Yang Pasti…..?



Coba  sebentar kita cermati komentar selebriti indonesia saat diwawancarai dalam program infotainmen. Salah satu jurus favorit mereka dalam menjawab pertanyaan, adalah menggunakan frase “Yang Pasti……..bla..bla..bla.

  • Reporter: “Mbak Artis, bagaimana persiapan mbak menjelang konser nanti malam?”
  • Artis: “Yang pasti, aku latihan tiap hari dan bla..bla..bla”.
Dari sisi lain, ternyata jurus sakti itu juga telah melekat di benak penonton. Saat seorang penonton yang hadir dalam sebuah event keramaian (entah itu konser musik, atau acara jalan-jalan, atau  event keramainan apa pun) diwawancarai, munculah frase sakti tadi:
  • Reporter: “Mbak, namanya siapa?”
  • Penonton: “Rere.”
  • Reporter: “Bagaimana pensi yang mbak Rere hadiri kali ini?”
  • Penonton: “Yang pasti…seru abis, banyak artis-artis yang keren banget!!!!”
Entah mengapa, saya menangkap bahwa jawaban sakti “Yang pasti..bla..bla..bla” adalah jawaban yang bukan jawaban. Jawaban yang sudah diketahui oleh banyak orang. Atau dalam bahasa juru warta disebut informasi yang tidak layak menjadi berita.

Ya tidak layak untuk masuk kategori berita, wong yang diungkapkan adalah sesuatu yang pasti-pasti. Yang pasti-pasti itu semua orang juga sudah tahu. Jawaban dengan menggunakan jurus “yang pasti” jelas bukanlah jawaban yang ditunggu oleh penonton atau pun oleh mereka yang ingin mengetahui informasi lebih lanjut.

Jawaban dengan jurus “yang pasti” dapat disejajarkan dengan pertanyaan retoris macam, “ah hari ini matahari terbit dari timur”, “ah, es ini dingin sekali”.   Ya itu sudah pasti, dan yang sudah pasti pasti itu, konon akan masuk struktur Present Tense, demikian ujar guru bahasa Inggris.

Lalu mengapa sering sekali muncul jawaban spontan “yang pasti”, entah dari kalangan artis, penonton, bahkan sekarang politikus atau mereka yang disodori mic pewawancara. Apakah ini sejenis virus di dunia digital ini?

Semata dengan menggunakan ingatan, saya coba mengira-ira, kapankah ungkapan “yang pasti” ini mulai muncul? 

Seingat saya, jurus sakti “yang pasti” ini muncul berbarengan dengan perkembangan teknologi yang makin memanjakan manusia dengan kecepatan. Di media televisi, muncul dengan banyaknya realtime news. Artinya, teknologi siaran langsung semakin menjadi biasa dalam tayangan berita televisi. Tuntutan kecepatan dalam pemberitaan, mengharuskan hadirnya informasi yang cepat. Berita tidak dicari, tapi diadakan dan akhirnya sang sumber berita pun akhirnya kehabisan kata-kata. Kata-kata yang tak terpikir kemudian muncul dalam frase sakti, “yang pasti”.

Kembali lagi ke ungkapan “yang pasti”. Benarkah saat seseorang mengucapkan jawaban “yang pasti”, dia mengungkapkan hal yang pasti?

Bisa jadi, jawaban “yang pasti” itu adalah sebuah penghindaran terhadap pertanyaan yang tidak siap dijawab. Atau, sebuah momen berpikir yang ditunda sehingga seseorang masih sempat untuk sedikit (hanya sedikit) memanggil sebentar ingatan dan mengungkapkan sesuai dengan situasi yang sedang dialami. Mudahnya, jawaban “yang pasti” adalah jawaban encer tanpa banyak berpikir, suatu kemalasan berpikir yang semakin masif.

Mungkin saja, jawaban tersebut adalah bentuk lain dari ungkapan “eeee…eee…” di zaman TVRI saat mic disodorkan kepada Menteri Moerdiono (mereka yang tahu, tentu sudah senior, memang ini jebakan umur). Zaman “eeee....eee....eee” sudah diganti dengan zaman “yang pasti”.

Atau malahan, jawaban “yang pasti” adalah jawaban antisipatif yang ditunggu oleh penonton. Penonton sudah tahu jawaban atau informasi tentang suatu hal. Untuk menegaskan common sense tersebut, narasumber hanya perlu mengatakan “yang pasti…bla..bla..bla.” Seorang aktris yang akan menikah, akan menceritakan persiapan yang dilakukan olehnya, layaknya setiap pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan, mulai dari menyiapkan pakaian, membuat undangan, memilih tempat, dan lain-lain.

Kemungkinan lain, jawaban “yang pasti” adalah pencitraan bahwa sebaiknya, atau umumnya seseorang akan memberikan jawaban seperti yang ia berikan. Inilah yang paling membosankan. Orang menjadi sok tahu dan memberitahu bahwa sebaiknya atau umumnya jawaban yang diberikan adalah yang dijawab dengan awalan “yang pasti”.  “Yang pasti, kegiatan tadi seru sekali”. Benarkah seru? Atau, sebaiknya dan umumnya kegiatan tadi menjadi kegiatan yang “seru”?

Jadi, sebenarnya tidak ada hal yang baru. Reporter sudah tahu, penonton sudah paham. Dan rasanya sia-sia untuk mencari tahu apa yang ingin diungkapkan maupun apa yang ingin diketahui dan ingin dicari.

Momen ingin tahu, momen penasaran hilang dan diganti dengan momen sok tahu.  Di titik ini, benarlah apa yang diungkapkan oleh Daniel Defoe di abad 18, “Dan apabila ada hal yang lebih pasti daripada kematian dan pajak, kita pantas untuk mempercayainya.” 

Karena tidak ada yang lebih pasti dari hal itu, maka? 
sumber gambar

Powered by Blogger.